Senin, 05 September 2011

Story of Dita's Bestfriend..

Disebelah rumahku, ada rumah mewah yang berisi 1 keluarga yang rukun dan damai, disana ada sepasang suami istri dengan 3 anaknya. 1 lelaki dan 2 perempuan, anak gadis di keluarga itu salah satunya adalah sahabatku, dia anak ke 2 dari 3 bersaudara. Anindita Sheila Oktavia, panggil saja dia Dita. Dia berumur 19 tahun sama sepertiku, kuliah di universitas bergengsi di Bandung. Tiap 2 minggu sekali dia pulang untuk berkumpul dengan keluarganya. Sifatnya masih sedikit kekanakan, manja, dan sedikit temperamen. Meskipun dia nggak suka aku sebut gadis suka marah, karena tiap marah dia lebih memilih untuk diam daripada harus meluapkan emosi yang dia rasakan. Aku hapal khas dia kalau sedang marah, dia mengepalkan tangan nya kuat-kuat dan berusaha menarik napas dalam2 agar dirinya bisa menarik diri sedikit demi sedikit dari ledakan amarahnya. Dia sering cerita padaku mengenai bagaimana hidupnya dari kecil dulu hingga sekarang, terutama penolakan2nya akan perintah kedua orangtuanya, lalu pengekangan dari kedua orangtuanya, lalu perasaan ingin menjadikan orangtuanya sebagai seorang yang bisa diajak curhat, perasaan ingin agar orangtuanya bisa menjadi sahabat yang paling mengerti perasaan nya dengan baik, perasaan yang ingin ceritanya didengar dan diberi solusi dengan baik seperti yang dia inginkan. Perasaan yang bergejolak inilah yang pada akhirnya dia luapkan padaku, sahabatnya. Sering dia berkata muak terhadap kedua orangtuanya yang kolot, terutama ibunya. Sering dia berkata tak kuat untuk bercerita banyak padaku soal hidupnya, hidupnya yang penuh kekolotan kedua orangtuanya yang penuh pemikiran jaman dulu yang tidak mengerti bagaimana menangani anak jaman sekarang. Suatu ketika Dita bermain ke rumahku yang tidak jauh dengan rumahnya dan kebetulan Dita sedang pulang ke rumah, 'karen, kenapa ya? Aku nggak tau apa yang mama papa pikirkan? Kok cuman jalan2 bareng kamu dan sahabatku yang cowok dibilang aku tuh ga ada harganya? Aku nggak ngerti?!! Apanya yang ga ada harganya sih?'. Aku cuman bisa bilang, 'ya udah sabar aja yah Dit, pasti ada waktu kok buat menyelesaikan semuanya dan pasti ada waktu untuk kamu mengeluarkan aspirasi kamu ke mama papa kamu, mama yg utama. Susah kan kamu membuat mama kamu mengerti?'. Lalu dia bilang, 'mamaku ga akan ngerti dan ga akan pernah mengerti aku, siapa aku dan mauku apa'. Kami berdua terdiam sesaat, lalu Dita pun pulang ke rumahnya dengan perasaan yang tidak puas.
Malam harinya, aku mencoba buat menelepon Dita. 'ya apa?', sapanya lemas ditelepon. 'masih kusutkah?' balasku. 'sangat kar, bete banget banget ini mah ya allah', gerutunya. 'Dit, kita kan memang nggak tahu apa yang ada di dalam pikiran orangtua kita, dibalik larangan2 yang mereka sampaikan sama kamu pasti ada hikmah dibalik semuanya. Coba kamu dibebasin kayak temen2 kamu yang lain, gampang kan kepengaruh yang namanya rokok, minuman keras dan yang lain nya?'. Dita terdiam, lalu menghela napas panjang. 'tapi caranya salah kar, mana ada pendapat pergi rame2 ada cowoknya dibilang ga ada harga dirinya?'. 'cara menangani anak tiap orangtua kan beda2 Dit, ada yang menangani dengan cara membebaskan banget anaknya biar anaknya itu dapat menemukan jalan nya sendiri. Dan ada juga yang kayak kamu Dit, bebas tapi ada batasan. Se enggaknya kamu ga kayak pas waktu SD, SMP, sama SMA kan? Kamu udah kuliah sekarang, apalagi kuliah kamu di luar kota, jadi mau ga mau orangtua kamu mempercayakan semuanya sama kamu'. 'aaaaaa tetep aja salah Kar, aku tuh pengin ngasih pendapat kalau mendidik seperti ini salah dan dapat ngebuat anak jadi sangat takut sama orangtuanya. Jadi penganggapan kita ke orangtua adalah pemimpin negara yang harus dipatuhi, bukan sesama rakyat yang saling bersahabat. Aku pengin mama papa itu jadi temen aku, sahabat aku selain menjalani kewajiban sebagai orangtuaku. Aku pengin mereka mengerti aku, apa yang aku rasakan, apa yang aku pengin, dan apa yang terjadi pada aku Kar', isakan Dita terdengar miris, walaupun cuman dari telepon, aku merasakan perasaan yang amat sedih. Dia ingin curhat sama orangtuanya, tapi dia takut karena selalu ingat pesan mama papanya. Kadang ia ingin sekali bercerita banyak sama mamanya, tentang dia di kampus, tentang cowok yang sekarang pacaran sama dia. Dita sebenarnya nggak tahan pacaran backstreet seperti ini, tapi apa boleh buat karena dia amat sangat takut akan orangtuanya. 'eh diem aja Kar, kamu masih ada disitu?', kata Dita memecahkan lamunanku tentangnya. "nggak kok, aku nggak apa-apa. Cuman aku kepikiran aja sama kehidupan kamu yang seperti ini, coba kamu beranikan diri untuk bilang ke mama papa kamu soal gimana kamu sehari-hari. Meskipun ceritanya cuma sedikit, kalau respon mama papa kamu baik kan bisa jadi itu suatu kemajuan untuk kamu terbuka sama mama papa kamu ya 'kan?", aku menjelaskan dengan panjang lebar. Dita mengangguk lemas, mungkin ini kurang mengenai hatinya. Dia takut, dia takut untuk beraspirasi padahal yang Dita hadapi sekarang adalah orang tuanya sendiri. "aku butuh waktu untuk berpikir, Kar", hanya itu yang dia katakan sebelum ia menutup teleponnya. Yah, mungkin memang harus dipikirkan matang-matang, akan menjadi susah bila kita salah bicara sedikit saja sama orangtua kita.
Suatu pagi, aku sedang lari pagi dan aku pun bertemu Dita, dia sedang bersiap untuk naik ke mobil yang membawanya pulang ke kosannya di Bandung. "hai Ditaaaaa", sapaku sambil tersenyum. "hai", Dita menjawab sapaanku dengan singkat. Di samping Dita ada papanya yang bertugas untuk menyetir mobil. "selamat pagi om", sapaku. "pagi Karen", balasnya. "Kar, aku pergi dulu ya", Dita berbicara sambil menutup kaca mobilnya. Mobil itu menjauh meninggalkan aku yang masih terhenti di depan rumahnya. Aku meneruskan berlari sambil bergumam "kasihan Dita, terlihat sekali kalau dia nggak bisa tidur".